Minggu, 07 September 2014

Kamis, 16 Januari 2014

konselor yang efektif



KONSELOR YANG EFEKTIF DAN PROFESIONAL

KONSELOR YANG EFEKTIF DAN PROFESIONAL

PENGANTAR
Satu instrument yang paling penting yang harus digunakan sebagai seorang konselor adalah diri kita sendiri sebagai pribadi. Untuk menyiapkan konseling kita dapat mengambil pengetahuan yang kita dapat dari teori kepribadian dan psikoterapi, kita dapat mempelajari teknik diagnostik dan teknik intervensi, dan kita dapat belajar tentang dinamika perilaku manusia. Biarpun pengetahuan serta ketrampilan adalah hal yang esensil, hal itu belum mencukupi kebutuhan untuk menjalin hubungan antar terapi yang efektif serta mempertahankan hubungan itu kedalam setiap sesi terapi kita ikutkan kualitas manusia kita beserta pengalaman – pengalaman yang telah mempengaruhi kita. Dimensi manusia ini merupakan salah satu dari determinan kegiatan terapi pada klien yang paling kuat yang kita miliki. Apabila sebagai konselor kita mengharapkan terciptanya pertumbuhan dan perubahan dalam diri klien kita maka kitapun harus bersedia untuk menciptakannya dalam diri kita sendiri. Sumber yang paling kuat yang kita miliki untuk bisa mempengaruhi klien agar menuju kearah yang positif adalah contoh hidup yang kita berikan yang menggambarkan siapa kita sebenarnya dan betapa besar kemauan kita untuk secara terus – menerus berjuang demi potensi yang kita miliki.

CIRI – CIRI KONSELOR YANG EFEKTIF
Kecenderungan yang ada sekarang adalah penekanan pada hal yang dipercaya oleh konselor dan perilaku konselor.Banyak sumber pendidikan konseling yang memberi tekanan pada kemampuan terapis untuk bisa melihat, memahami, dan menerima keberadaan diri mereka dan diri orang lain. Kualitas hubungan antara klien dan konselorlah yang nampaknya paling bisa menciptakan pertumbuhan hubungan antara keduanya.
Menurut Combs ( 1986 ) melihat adanya perbedaan yang jelas antara ciri – ciri penolong yang efektif dan yang tidak efektif. Yang ternyata menjadi ciri perbedaan itu adalah hal yang dipercaya penolong tentang empati, diri, naluri manusia, dan tujuan – tujuan si penolong itu sendiri. Menurut Combs kajian itu menyiratkan bahwa keyakinan – keyakinan berikut ini ada kaitannya dengan sukses, yaitu : konselor yang efektif terutama  menaruh perhatian pada wajah dunia ini yang nampak dari sisi  yang menguntungkan di mata kliennnya. Ia memandang positif pada diri manusia, menaruh kepercayaan pada mereka, menganggap mereka semua mampu, bisa dipegang kata – katanya dan ramah. Para konselor yang sukses mempunyai pandangan positif terhadap diri mereka sendiri dan mempercayai kemampuan mereka. Sebagai konselor, intervensi yang mereka lakukan berdasarkan pada nilainya.
Dalam pelaksanaan konseling unsur konselor adalah pemegang peranan penting, sehingga perlu adanya karakteristik tertentu yang diharapkan untuk dimiliki oleh seorang konselor. Karakteristik dalam kepribadian konselor sangat  menentukan berhasil atau tidaknya proses konseling, disamping pengetahuan dan ketrampilan – ketrampilan profesional.
Belking dalam bukunya “Practical Counseling in the School” melukiskan dalam karakteristik konselor yang baik akan mempunyai arti penting dalam memberikan layanan pada clien. Belkin menggambarkan karakteristik-karakteristik yang baik mampu menumbuh kembangkan kemampuan klien. Klien akan mempunyai arah yang jelas dan mampu memecahkan masalahnya sendiri, bagaikan tumbuhan yang mendapatkan siraman air sejuk yang menjadikan tumbuhan tersebut menjadi segar dengan bunganya yang berkembang. Bagaimana siramannya? Digambarkan oleh Belkin sebagai berikut :
Sembilan karakteristik seorang konselor itulah yang akan mampu membantu klien untuk mengembangkan dirinya, sehingga mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Kesembilan karakteristik itu adalah :1. Konfrontasi : berarti  menghadapkan  persoalan  kepada  klien, yang saat ini sedang dihadapi.Dengan konseling itu klien sadar terhadap persoalannya dan berusaha untuk memecahkan sendiri dengan bantuan konselor.
2. Tulus : dapat  juga  dikatakan   ikhlas,  berarti   melakukannya  tanpa   syarat, sehingga tidak  ada tawar  menawar. Pelaksanaan konseling tidak dibenarkan memakai syarat. Konselor harus  secara  tulus dan  ikhlas  menolong  klien  tanpa mengajukan persyaratan.
3. Jujur : maksudnya tidak berbohong, mengatakan apa sebenarnya, lahir sesuai dengan  batin. Secara  jujur  mau mengakai   apabila mempunyai kekurangan atau kelemahan. Tidak suka menipu.
4. Hangat : adanya resonansi psikologis yang dapat memberikan kepuasan dua belah pihak.  Kehangatan  ini  sangat  dibutuhkan  oleh setiap manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Kehangatan dibentuk dalam suatu interaksi, dan ini akan dirasakan oleh yang bersangkutan. Untuk menciptakan diperlukan adanya hubungan yang akrab. Keakraban  akan menimbulkan kehangatan.
5. Empati : turut  merasakan  apa yang  dihayati oleh klien dan klien tahu kalau konselor memahami dirinya.
6. Jelas : dalam memberikan   konseling  janganlah  seperti  bentuk  teka-teki, jangan  samar – samar  kalau  berbicara atau memberikan pengarahan maka sebaiknya konselor menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti oleh klien.
7. Polos : artinya  tanpa  prasangka,  kalau sudah ada prasangka terhadap klien, misalnya memberikan “cap”  kepada klien, ini berarti sudah ada prasangka, dan berarti tak   polos lagi. Dalam  Client  Centered Counseling diperlukan konselor  yang  polos, menghindari adanya  diagnosis,  mendiagnosis berarti sudah  memberikan  “merk”  kepada klien, berarti  ada prasangka, dan tidak polos lagi.
8. Hormat  :  memberikan  penghargaan kepada klien, memberikan kebebasan, klien dibiarkan tumbuh berkembang, dan mengembangkan bahkan  potensinya. Klien dihargai sebagai  manusia yang memiliki harga diri, dan memiliki potensi. Klien dihormati sebagaimana adanya.
9. Positive Regard  :  penghargaan   terhadap   klien  secara    positip.  Konselor yakin   bahwa klien mempunyai  kemampuan  menyelesaikan   masalahnya sendiri.  Tidak  ada  dugaan  terhadap  klien  secara  negatif, misalnya bahwa klien  adalah  orang  yang lemah, yang  tidak  mempunyai kemampuan untuk menolong  dirinya, orang   yang  sangat  tergantung,  dsb.  Untuk melengkapi ciri – ciri  apa  saja  yang   diharapkan  bagi   seorang   konselor  dibawah  ini dikutipkan  matriks  kualitas  konselor  dari Belkin, agar dapat dikrtauhi oleh para konselor dan calon konselor.

KONSELOR SEBAGAI SEORANG PROFESIONAL
Instrumen yang paling penting adalah diri konselor sendiri sebagai pribadi dan bahwa teknik yang paling ampuh adalah kemampuan konselor  mencontohkan daya hidup dan dunia nyata kepribadian konselor. Maka menjaga agar diri kita tetap penuh daya hidup adalah hal yang esensial. Kita perlu bekerja menangani faktor – faktor yang merupakan ancaman tersedotnya daya hidup kita dan membiarkan kita tidak berdaya. Mencari cara bagaimana kita bisa mengapliksasikan  yang akan dipelajari  untuk meningkatkan  kualitas hidup sehingga menuju profesionalisme itu sendiri.
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut
1.Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
* Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
* Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
* Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
* Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
* Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
3.Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4.Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi.
5.Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
6.Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
* Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
* Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
* Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan segera tampak, diantaranya apabila :
* Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
* Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
* Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
* Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
* Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
* Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
* Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
* Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
* Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
* Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
* Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
* Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan    konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
SUMBER

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
Pujosuwarno S.DR. 1992. Petunjuk Praktis Pelaksanaan Konseling, Yogyakarta : Menara Mas Offset
Corey Gerald. 1995. Teori dan Praktek Dari Konseling dan Psikoterapi, Semarang : IKIP Semarang Press


Rabu, 15 Januari 2014

test wais



 1, Sejarah
Rangkaian tes lain yang digunakan untuk menilai inteligensi siswa disebut skala Wechsler yang dikembangkan oleh psikolog David Wechsler David Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi Wechsler yang masih banyak digunakan hingga saat ini, mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif (Wechsler dalam Azwar, 2006:7).
Tes ini dibuat pada tahun 1955, disusun oleh David Wechsler. WAIS diciptakan dengan dasar pikiran intelegensi terdiri dari beberapa aspek (aspek verbal, abstrak, numerical, bahkan faktor G). David Wechsler memperkenalkan versi pertama tes inteligensi yang dirancang khusus untuk digunakan oleh orang dewasa. Tes tersebut terbit pada tahun 1939 dan dinamai Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (WBIS). Pada tahun 1949, Wechsler juga menerbitkan skala inteligensi untuk anak-anak yang dikembangkan berdasar skala WBIS tadi. Skala ini diberi nama Wechsler Instelligence Scale for Children (WISC). Pada tahun 1974, suatu revisi terhadap tes WISC dilakukan kembali dan edisi revisi ini diterbitkan di tahun tersebut dengan nama WISC-R (huruf R merupakan singkatan dari kata Revised). Di tahun 1955, Wechsler menyusun skala lain untuk mengukur inteligensi orang dewasa dengan memperluas isi tes WISC. Skala baru ini diberinya nama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Revisi terhadap WAIS dilakukan dan diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R Item tes WAIS mencakup pengetahuan umum, aritmatik, kosa kata, melengkapi gambar yang belum lengkap, menyusun balok dan gambar dan menyusun objek.


1.      Wechsler mendefinisikan inteligensi sebagai:
“Intelligence is the aggregate or global capacity of the individual to act purposefully, to think rationally, and to deal effectively with this environment”.
Artinya, inteligensi merupakan suatu agregat atau kapasitas global dari individu untuk dapat bertingkah laku secara terarah, berpikir secara rasional, serta berhubungan secara efektif dengan lingkungannya.
 Wechsler mengemukakan tiga alasan mengapa pernyataan di atas diajukan :

a.      Hasil dari perilaku inteligen bukan hanya merupakan suatu fungsi dari sejumlah kecakapan atau kualitas kecakapan tersebut, tapi juga tergantung pada konfigurasi kecakaan-kecakapan tersebut (cara kecakapan kecakapan tersebut dikombinasikan).

b.      Ada faktor-faktor selain kecakapan intelektual, misalnya dorongan (drive) dan hadiah (incentive), yang melebur dengan perilaku inteligen.

c.       Karena tingkah laku inteligen mempersyaratkan berbagai derajat kecakapan intelektual, maka kecakapankecakapan tertentu bisa saja memberikan sumbangan yang kurang berarti terhadap perilaku sebagai suatu keseluruhan.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapai disimpulkan bahwa Inteligensi merupakan suatu kemampuan umum dan kompleks yang dimiliki individu dari faktor genetis maupun lingkungan yang mempengaruhinya untuk dapat berfikir secara abstrak, menyesuaikan diri belajar, memahami hakikat hidup dan mengatasi suatu masalah secara terarah, rasional, dan efektif.
Inteligensi merupakan suatu fungsi, dalam arti faktor-faktor yang menentukan inteligensi merupakan suatu fungsi secara keseluruhan. Faktor-faktor tersebut meliputi pembawaan, kematangan dan pembentukan.

1.      Faktor Pembawaan
Faktor pembawaaan merupakan faktor pertama yang berperan di dalam inteligensi. Semua individu membawa sifat-sifat tertentu sejak lahir. Sifat-sifat alami ini yang menentukan pembawaan kita. Contohnya, terdapat anak-anak yang dengan susah payah dapat mengikuti pelajaran di bangku sekolah dasar (SD), termasuk ada yang dengan sangat mudahnya dapat mencapai gelar di universitas. Tetapi di sisi lain, betapapun giatnya mengikuti pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah sekalipun, namun ada anak-anak yang tidak sanggup mengikuti pelajaran yang lebih tinggi dari SD. Artinya, mereka tidak memiliki kesanggupan yang memadai untuk mengikuti pelajaran, berkaitan dengan kekurangan faktor pembawaan.

2.      Faktor Kematangan
Kematangan adalah pertumbuhan dari dalam. Faktor kematangan terkait dengan bagaimana kesiapan individu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Contohnya, anak normal yang berusia 7 tahun, tidak akan menjumpai kesulitan dengan hitungan 8+9. Tetapi saat dihadapkan pada persoalan setingkat lebih sulit yang menyangkut persamaan seperti: 5+x=8, ia kesulitan untuk menyelesaikannya. Bisakah kita langsung memberi label bahwa anak tersebut bodoh? Tentu tidak!. Bahkan mungkin ia seorang anak yang cerdas, hanya saja ia belum matang untuk membuat soal hitungan persamaan semacam itu, karena hitungan semacam itu masih terlampau abstrak baginya. Andaikata anak itu normal dan berusia sekitar ± 14 tahun, besar kemungkinan hitungan itu tidak akan sulit diselesaikan.

3.      Faktor Pembentukan
Faktor pembentukan, yakni perkembangan di bawah pengaruh keadaan-keadaan dari luar. Misalnya, seorang anak normal yang berusia 14 tahun, pada umumnya tidak akan menjumpai kesulitan dengan persoalan hitungan sederhana. Akan tetapi, tidak setiap anak normal 14 tahun dapat membuat hitungan seperti itu. Jika anak itu tinggal di sebuah dusun yang terpencil dan tidak pernah bersekolah, ia akan sulit menyelesaikan hitungan tersebut, sekalipun ia telah memiliki kematangan untuk hitungan tersebut. Jadi pembentukan merupakan faktor yang sangat penting dalam inteligensi. Dan dalam pembentukan, sekolah dan lingkungan memegang peranan yang sangat penting.


3  Aspek yang diukur
WAIS mengukur dua aspek kemampuan potensial subyek yaitu aspek Verbal dan aspek Performance. Wawasan yang diukur oleh kedua aspek tersebut diuraikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.12 : Wawasan Yang Diukur WAIS
Aspek Verbal
Aspek Performance
1. Informasi
1. Simbol Angka
2. Pengertian
2. Melengkapi Gambar
3. Hitungan
3. Rancangan Balok
4. Persamaan
4. Mengatur Gambar
5. Rentangan Angka
5. Merakit Obyek
6. Perbendaharaan Kata


kelompok verbal (lisan) dan kelompok performance (perbuatan).
Skala Verbal terdiri dari:
1.      Informasi
      Berisi 29 pertanyaan mengenai pengetahuan umum yang dianggap dapat diperoleh oleh setiap orang dari lingkungan sosial dan budaya sehari-hari dimana ia berada.
2.     Rentang Angka
       Berupa rangkaian angka antara 3 sampai 9 angka yang disebutkan secara lisan dan subjek diminta untuk mengulangnya dengan urutan yang benar.
3.     Kosa Kata
       Berisi 40 kata-kata yang disajikan dari yang paling mudah didefinisikan sampai kepada yang paling sulit.
4.     Hitungan
       Berupa problem hitungan yang setaraf dengan soal hitungan di sekolah dasar.
5.     Pemahaman
       Isi subtes ini dirancang untuk mengungkap pemahaman umum.
6.     Kesamaan
      Berupa 13 soal yang menghendaki subjek untuk menyatakan pada hal apakah dua
      benda memiliki kesamaan.


Untuk skala performance adalah sebagai berikut:
1.      Kelengkapan Gambar
      Subjek diminta menyebutkan bagian yang hilang dari gambar dalam kartu yang jumlahnya 21 kartu.
2.     Susunan Gambar
      Berupa delapan seri gambar yang masing-masing terdiri dari beberapa kartu yang disajikan dalam urutan yang tidak teratur.
3.     Rancangan Balok
      Terdiri atas suatu seri pola yang masing-masing tersusun atas pola merah-putih. Setiap macam pola diberikan di atas kartu sebagai soal.
4.     Perakitan Objek
      Terdiri dari potongan-potongan langkap bentuk benda yang dikenal sehari-hariyang disajikan dalam susunan tertentu.
5.     Simbol Angka
      Berupa Sembilan angka yang masing-masing mempunyai simbolnya sendiri-sendiri. Subjek diminta menulis symbol untuk masing-masing angka di bawah deretan angka yang tersedia sebanyak yang dapat dia lakukan selama 90 detik.




ETIKA PENGGUNAAN ASESMEN INTELIGENSI DALAM PELAYANAN BK
Agar tes intelegensi tidak disalahgunakan, maka disusunlah kode etik yang mengatur sebuah penggunaan tes. Beberapa prinsip penting yang perlu diketahui oleh berbagai pihak, termasuk konselor, antara lain sebagai berikut.
1.      Penjualan dan distribusi tes intelegensi terbatas pada pemakai yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki wewenang untuk mengadministrasikan tes itelegensi yang telah dipersiapkan sebelumnya secara matang untuk dapat melakukan hal tersebut, sehingga tidak semua orang dapat menjalankan dan mengadministrasikan kegiatan tes intelegensi ini.
2.      Skor tes intelegensi hanya boleh disampaikan kepada orang-orang yang mampu menginterpretasikannya. Individu (testi) yang memperoleh laporan hasil tes intelegensi selayaknya juga memperoleh penjelasan dari orang yang mengerti dan mampu menginterpretasikan hasil tes intelegensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan tindakan berikutnya yang akan dilakukan setelah individu (testi) mengerti dan memahami hasil tes intelegensi yang diperolehnya.
3.      Membentuk sikap obyektif testi. Hal ini perlu dilakukan karena bagaimapun kondisinya, tes intelegensi merupakan alat atau media yang dapat digunakan untuk memahami diri sendiri dengan lebih baik, hal ini perlu dilakukan karena adanya kemungkinan testi memiliki prasangka tertentu dalam menginterpretasikan sebuah hasil tes.
4.      Tes yang digunakan telah teruji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Tes intelegensi yang masih dalam tahap pengembangan tidak boleh digunakan, hal ini dikarenakan tingkat validitas dan reliabilitasnya belum teruji.




7 PENGGUNAAN ASESMEN INTELIGENSI DALAM LAYANAN BK
Penggunaan tes intelegensi dalam pelayanan bimbingan konseling tidak hanya melibatkan konselor sebagai pelaksanan kegiatan bimbingan konseling, tetapi juga pihak-pihak lain yang juga terlibat dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Hasil tes intelegensi yang diperoleh dapat dipergunakan oleh berbagai pihak disekolah yaitu:
1.      Sekolah, tes intelegensi dapat digunakan untuk menyaring calon siswa yang akan diterima atau untuk menempatkan siswa pada jurusan tertentu, dan juga mengidentifikasi siswa yang memiliki IQ di atas normal.
2.      Guru, tes intelegensi dapat digunakan untuk mendiagnosa kesukaran pelajaran dan mengelompokkan siswa yang memiliki kemampuan setara.
3.      Konselor, tes intelegensi dapat digunakan untuk membuat diagnosa siswa, untuk memprediksi hasil siswa dimasa yang akan datang, dan juga sebagai media untuk mengawali proses konseling.
4.      Siswa, tes intelegensi dapat digunakan untuk mengenali dan memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, dan mengetahui kemampuannya.

Penggunaan tes intelegensi perlu memperhatikan beberapa prinsip dalam pelaksanaannya di sekolah. Diantaranya sebagai berikut.
1.      Diberikan untuk seluruh siswa, jika hanya diberikan kepada sekelompok siswa saja, dikhawatirkan kesimpulan yang diambil nantinya tidak mencakup atau mewakili siswa secara keseluruhan.
2.      Diberikan dengan pertimbangan waktu yang baik, tes yang diselenggarakan dengan rencana yang matang akan memiliki manfaat yang cukup besar dari hasil yang diberikan tersebut.
3.      Dilakukan dengan cara yang benar, tes harus dilakukan dengan cara yang benar dan tidak disalahgunakan agar dapat memberikan manfaat kepada siswa dan juga pada sekolah.
4.      Proses skoring harus dilakukan dengan tepat dan teliti.
5.      Hasil tes harus diinterpretasikan berdasarkan norma yang wajar.
6.      Hasil tes hendaknya disajikan dengan cara yang mudah dimengerti oleh siswa, orang tua, kepala sekolah, guru dan konselor. Dapat disertai dengan keterangan-keterangan yang menunjang.

Budayanya minta izin sebelum di copy ya dear